Mari bergandengan tangan.
Memuliakan orang lain, itulah yang selalu saja menjadi peran yang harus saya jalani selama ini. Mendukung, menarik dan menjadikan orang berhasil dan sukses sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan saya sampai saat ini. Saya sendiri seringkali sulit untuk dapat mempercayai apa yang pernah saya lakukan bagi orang lain.
Disisi mereka saya bisa melakukan apa saja hanya demi kehidupan mereka menjadi lebih berhasil, sukses, kaya dan jaya. Tetapi yang sangat menyedihkan dan memerihkan hati saya adalah, ketika mereka telah meraih kesuksesan, mereka kemudian lupa terhadap cita-cita mulia dan komitmen dalam mensejahterakan karyawan apalagi masyarakat banyak.
Saya teringat dengan seorang kawan yang baru saja datang ke Jakarta, setelah mengalami perpecahan usaha. Anak yang peduli dengan sesama, baik, cerdik, pejuang dan mendalami filsafat kehidupan. Kemana-mana saya mendampinginya, mencari kenalan, mencari mitra baru, membangun usaha baru, hampir 1 tahun kerja sampai dini hari setiap hari. Memasuki tahun ke-2, kehidupannya mulai tertata, usahanya semakin maju dan sudah mampu untuk melebarkan kenalan, kawan dan usaha. Serupiahpun, dan selembar sahampun yang selama ini dikomitkan tidak pernah saya terima sampai hari ini. Bukan hal itu yang merisaukan saya, tetapi kesedihan saya kehilangan kawan yang telah kehilangan ‘jati diri’nya. Sekarang ia telah menjadi ‘new rising star’, saya masih berharap ia akan kembali pada ‘diri’ suatu saat nanti.
Tiga tahun yang lalu saya bertemu dengan seorang yang memiliki kepedulian yang sangat besar pada bangsa ini. Ia memberikan apasaja yang ia miliki untuk orang-orang disekitarnya. Seperti biasanya, tentu saja saya menawarkan diri membantu dia mencapai cita-citanya mensejahterakan seluruh penduduk bumi. Seluruh network bisnis, jaringan media, sampai akses terhadap keuangan saya buka lebar-lebar untuk memajukan usaha demi tercapai cita-citanya. Sayapun tidak pernah menyangka, bahwa setiap usaha yang saya lakukan dalam mendukung dia, seolah-olah berkembang sebagai deret hitung. Saya sempat berpikir ‘inikah cara Tuhan membangun bangsa Indonesia?”. Ternyata itu adalah fatamorgana saja, belum berusia genap 3 tahun, seluruh usaha itu runtuh. Yang paling menyakitkan adalah kawan saya itu ternyata ‘jauh’ dari yang selama ini dicitrakannya.
Buku ini tertulis pada saat mencoba merangkumkan lagi apa yang seharusnya saya kerjakan bagi bangsa ini. Mungkin terlalu terlambat untuk memulainya, atau saya sudah terlalu jauh dari momentumnya ? Saya yakin Ibu Pertiwi, masih sabar menanti, karena ia masih menunggu bangkitnya pahlawan-pahlawan muda bangsa ini. Saya akan mendampingi saudara untuk mencapai “King”, saya akan menjadi pendamping yang melakukan apasaja bagi anda, bagi bangsa ini menuju kejayaan abadi.
Salam Perjuangan.
Kiriman kebahagiaan dan kesuksesan selalu bersamaan dengan perjuangan, kegetiran dan pematangan diri. Bagaikan isi kertas yang sebelah menyebelah. Namun sayang banyak yang berhenti hanya di satu sisinya dan tidak mau bertahan dan mencapai keberhasilan di halaman berikutnya.
Yang paling membahagiakan adalah berada ditengah2 orang2 yg kita kasihi dan mengasihi. Tetapi kehidupan ini bukan untuk berbahagia sendirian. Karenanya, tetaplah bangun komunitasmu ygterbaik, tetapi tetap keluar untuk mmbangun komunitas yg lebih besar. Supaya dunia ini menjadi tempat yg membahagiakan semua orang.
0 Comments