Mulailah dari Perubahan Diri.
Cycle of wrong society yang berputar di negeri ini akan membentuk generasi berikutnya yang semakin buruk, sesuai dengan tingkatan penyerapan pengaruhnya. Dan generasi muda sebagai generasi produktif soko guru negara ini adalah hasil rekayasa budaya salah orde-orde sebelumnya. Salah satunya adalah dikembangkannya masyarakat dengan pola agraris tradisional, ketika kita telah memasuki dua era didepannya (setelah agraris, industri dan saat ini era informasi), yang tidak pernah kita siapkan untuk menghadapinya. Ketika kita mencoba untuk melangkah maju, pikiran dan hati kita melekat dimasa lalu. Satu-satunya cara enghentikan adalah melakukan pergeseran paradigma, penerobosan pola pikir untuk menghasilkan quntum leap.
Pada zaman ini kita seharusnya sudah meninggalkan pola pemikiran linier dan seragam, tetapi justru hal-hal itulah yang selalu dikembangkan oleh pemerintah. Pola pikir logika formal yang menjadi dasar kebijakan-kebijakan dengan menggunakan data-data tidak akurat dan usang membuat semakin tidak keruan kebijakan-kebijakan pulik kita. Ketika sekarang ini kita sedang menuai hasilnya, ajakan pertobatan nasional mungkin akan merupakan satu-satunya jalan. Tetapi, maukah bangsa ini bertobat ?
Kondisi kelima adalah rusaknya sistem sosial yang kita bangun di atas ketidakadlan, keserakahan, dan kronisme. Jurang kaya-miskin secara sistematis diperdalam dan diperlebar; kesempatan terbatas si miskin selalu saja masih dijarah oleh si kaya. Pekerjaan, karier, pangkat, kedudukan, bisnis bahkan pendidikan selalu identik dengan ketidakadilan sistematis yang hanya terbuka bagi mereka yang mampu. Si kaya dan si pintar mengekploitasi kemelaratan dan kebodohan saudaranya sendiri. Lihatlah nasib guru yang semakin tertindas dan pola pendidikan yang secara sistematis membunuh kreatifitas anak didiknya sendiri. Agama seakan tinggal sebatas formalitas dan simbol-simbolnya saja, tanpa mampu menyentuh perilaku.
Sifat hipokrit yang sangat mendominasi perilaku bangsa kita merupakan kondisi ketiga. Apa yang dikatakan bukanlah yang dilakukan. Slogan, motto adalah kegemaran mata dan mulut, tetapi tidak pernah singgah dalam hati. Verbalisme! Kata-kata yang telah kehilangan maknanya dijadikan tabiat dan karakter. Licik, licin, dan culas adalah citra yang mudah kita temui.
Betapa sulitnya bangsa ini menghargai tatanan, hukum dan peraturan adalah keadaan keempatnya. Hukum adalah komoditi yang bisa dieksploitasi oleh penegak serta pembuatnya. Kepentingan pribadi dan kelompok selalu berada diatas norma dan tatanan; selingkuh antara penegak hukum dengan para pelanggar hukum sepertinya sudah lumrah, terdorong oleh hasrat ingin cepat kaya.
Kondisi kedua adalah mentalitas babu, yang membat bangsa ini selalu mudah ditipu oleh para penguasa dan pemimpinnya, Eagle flies alone, but dicks go together dan nampaknya garuda tinggal sebagai simbol mati yang tidak berarti, karena kita lebih suka menjadi beo dan bebek. Kita sangat labil dan mudah dipengaruhi, mudah dijebak dan terjebak, ikut kemana saja angin membawa kita pergi. Pemimpin adalah panutan dan kita adalah hamba sahaya, yang senantiasa siap untuk melaksanakan perintah, apapun itu. Kita sangat jauh dari apa yang dituliskan A Harefa yang mengajak “Belajar menjadi mandor” dalam bukunya Berguru pada Matahari. Ia mendiskripsikan seorang mandor sebagai seorang pelaksana lapangan…. Ia menegakkan disiplin, yang berarti belajar menjadi pemimpin sejati yang mampu menentukan prioritas, belajar mendisiplinkan diri, bersedia menunda kenikmatan, menerima tanggungjawab, patuh pada hukum dan jujur.
Dan di zaman yang demikian, kita masih berkutat dengan kondisi mendasar yang ada disekitar kita, yang secara dominan semakin melemahkan dan menyudutkan kita dari main stream paradigm for globalisation era.
Kondisi dasar pertama, keterlambatan perkembangan budaya mengikuti dinamika masyarakat (seperti diakui oleh pakar sosiologi Indonesi, Selo Sumarjan dalam seminar di PPM tgl 3 Mei 2001). Pemberangusan budaya telah menciptakan pengerdilan diri dan kecanggungan dalam menyesuaikan dengan perubahan zaman. Budaya luhur tidak dihayatai esensinya, sehingga kehilangan makna dan momentumnya, terlihat kaku dan mati, serta ditinggalkan pemiliknya. Budaya hanya tertinggal pada ukiran-ukiran kayu dan tulisan batik mati dan ditempel didinding. Ia tidak pernah mampu muncul menjadi payung dinamika msyarakat, sehingga nak-anak negeri mencari tata nilai dan jati diri dari negara seberang.
Pemikiran saya ini sekedar sumbang saran yang semoga dapat dijadikan jembatan untuk menghubungkan konsep dan pemikiran serta budaya asing yang terus akan menghujani kita dengan tingkat pemahaman yang sudah kita miliki, sehingga dari keadaan riil posisi kita, kita dapat mendinamisasi diri sesuai dengan tuntutan zaman. Pilihan terhadap arus globalisasi tidak banyak, karena bagaimanapun kita tidak akan mampu membendung pengaruhnya. Tindakan proaktif yang dapat kita lakukan adalah memilih, menyerap dan menggunakannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur yang kita miliki.
Apakah bisa dikatakan bahwa secara mendasar terdapat peerbedaan antara masyarakat kita dengan masyarakat Amerika ? Apakah secra mendasar masyarakat kita masih dalam taraf kehidupan pasif, menunggu, kurang inisiatif, sementara masyarakat global begitu proaktif kalau bukan agresif ? Mungkinkah diatas dasar yang sangat berbeda ini dibangun konsep dan pola pengembangan yang sama ? Saya sangat mengkhawatirkan, jangan-jangan bila kita telah merasa membangunnya sebenarnya kita melakukan kesia-siaan.
Paling tidak situasi ini telah mendorong Cak nur (dengan Paramadina) dengan 15 prinsip rohaniah manajemennya, Sri Adyanti (dengan Tazkia Sejati), Anand Krisna (dengan meditasi) mencoba menggali nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki oleh bangsa ini untuk dihidupkan kembali. Saya bukan anti barat atau asing, bahkan dalam tulisan ini saya banyak memakai perbandingan dengan referensi pada konsep-konsep tulisan lain, tetapi saya yakin bahwa tidak ada satu halpun (konsep, pemikiran, dll) yang begitu saja dapat diterapkan untuk bangsa kita tanpa jembatan yang menghubungkannya dengan latar belakang, pendidikan, budaya, serta penghayatan agama yang kita miliki.
Saya merinding membayangkan kesesatan bangsa ini yang akan semakin jauh dari jati dirinya. Adakah obat bagi penyakit negeri ini ? Benarkah hanya dengan obat asing ? Benarkah konsep manajemen, etika, moral, bisnis asing itu cocok dan terbaik buat negeri ini ? Ataukah kita sekedar menghibur diri mencari obat gosok untuk mengobati kanker kronis yang perlu dioperasi ? Ataukah kita terlalu naif dan malu mencari jati diri yang telah lama hilang dari hidup kita ? Lihatlah apa yang menjadi ungkapan kunci skses orang Amerika dalam kurun 200 tahun, dari tahun 1776 sampai 1976, yang tiada lain adalah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang efektif (The Seven Habits karya Stephen Covey). Bandingkan dengan diskripsi manusi Indonesia versi Mochtar Lubis, yang antara lain disebut : munafik atau hipokrit, segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, artistik, memiliki watak yang lemah, dengan beberapa ciri lain seperti : tidak hemat, kurang sabar, tukang menggerutu, tukang tiru, sok, cenderung bermalas-malasan, dan kurang peduli terhadap nasib orang lain selama tidak mengenai dirinya atau orang yang dekat dengannya.
0 Comments