Pemimpin Transcendence vs Pemimpin Actualization (mengkloning Jokowi).
Ir. Heru Kustriyadi Wibawa, MSc.
Dalam piramida kebutuhan yang dikenal selama ini, Abraham Maslow menjelaskan tentang hirarki kebutuhaan manusia. Maslow membaginya dalam 5 tahap kebutuhan, dari kebutuhan fisik, rasa aman, rasa cinta dimiliki/memiliki, harga diri dan puncaknya adalah aktualisasi diri. Meskipun diakhir hayatnya Maslow sempat menemukan sebuah kebutuhan yang lebih tinggi dari aktualisasi diri yaitu kebutuhan transendensi diri (self-transcendence). Meski Maslow tidak sempat melakukan koreksi dari teori kebutuhan manusia, tetapi penemuannya itu menjadi sangat penting karena Maslow menemukan sebuah fenomena yang sama sekali baru.
Kebutuhan manusia ternyata tidak bersifat hirarkis tetapi dalam setiap level keadaan manusia bisa mengalami proses transenden, proses dimana ia bisa hidup melebihi kapasitas dirinya. Ia bisa menjadi pribadi yang baru dengan cara pandang dan perilaku yang sangat berbeda. Manusia yang mengalami transenden, meletakkan fokus hidupnya pada sesama bukan dirinya, serta pada kepentingan umat manusia. Ia melepaskan diri dari kungkungan keterbatasan diri dengan sadar masuk dalam wilayah ‘kekuatan’ diluar dirinya yang bekerja melalui dirinya. Dia menghidupi visi dan misi yang sangat besar melampaui kapasitasnya, ia digerakkan oleh sebuah kebutuhan zaman yang tertanam dalam hidupnya.
Keadaan ini sangat berbeda dengan pola pikir bahwa kebutuhan manusia itu hirarkis. Secara langsung akan menjadikan manusia terkotak-kotak sesuai dengan tingkat pemenuhan kebutuhannya. Mereka yang miskin adalah kategori yang terbawah, sedangkan mereka yang kaya akan masuk kategori paling tinggi. Level-level yang tercipta dalam masyarakat ini juga menjadikan setiap kelompok masyarakat akan berjuang keras, sibuk dengan dirinya di level dimana ia sedang berjuang, sedikit punya waktu untuk bersentuhan dengan pihak lain. Semua orang menjadi sibuk pada diri dan kebutuhannya, kalau dia berinteraksi dengan kelompok lain itu juga dilakukan sebatas untuk memenuhi kebutuhannya atau keinginannya untuk masuk kedalam level yang lebih tinggi.
Terjadi sebuah perbedaan yang sangat besar, dimana masyarakat transenden akan menyatu, bergabung dan bersinergi tanpa ada batas atau level-level dalam komunitasnya. Mereka akan saling menghargai, saling membutuhkan, dalam persamaan kedudukan dan hak. Mereka memiliki hubungan interdependen, saling bergantung dan saling membutuhkan. Kontras dengan paradigma aktualisasi, dimana masyarakat akan terkotak-kotak dan dalam hubungan saling mengekplorasi, mengambil keuntungan untuk dirinya. Keberhasilan diukur dari seberapa keuntungan yang dapat diperolehnya. Hubungan antar kelompok masyarakat penuh ketegangan, kecurigaan yang didasarkan pada kondisi hubungan dependen dan independen.
Kalau secara khusus kita melihat pola pemimpin dari kedua kondisi diatas, kita akan menemukan sangat besar sekali perbedaannya. Kpemimpinan aktualisasi bercirikan ‘self center’ keberhasilan pemimpin diukur dengan seberapa besar potensi diri yang dimilikinya dapat teraktualisasi melalui proses kepemimpinannya. Pemimpin adalah puncak dari seluruh ukuran keberhasilan, masyarakat yang dipimpinnya akan diarahkan masuk dalam pola diri pribadi sang pemimpin. Masyarakat yang harus mengikuti keinginan pemimpinnya, sehingga dalam kepemimpinan aktualisasi ini, warna pribadi pemimpin begitu dominan dan bisa dilihat secara nyata dalam setiap keputusan yang diambil. Pemimpin akan memastikan seluruh kekuatan keuangan dan kekuasaan dalam kendali mutlak ditangannya, dengan melibatkan anak, istri, menantu, ipar, besan, saudara-saudaranya. Ini semua untuk memastikan bahwa pemikiran dan kemampuannya akan terwujud dalam setiap level. Semua itu disertai dengan pemusatan kekuatan keuangan dan koneksi, yang dianggap sebagai pilar utama dalam mengendalikan masyarakat yang dipimpinnya.
Disisi yang lain kepemimpinan transenden adalah kepemimpinan yang meletakkan orang lain sebagai tujuan utama sang pemimpin. Pemimpin bukan melihat potensi dirinya lagi tetapi potensi masyarakat yang dipimpinnya. Ia hanya menginginkan mengaktualisasikan potensi orang lain menjadi nyata. Dalam mewujudkannya, pemimpin akan mendasarkan hubungan antar pribadi yang dipimpinnya dengan tata nilai global yaitu kepentingan kemanusiaan dan kepentingan masyarakat dunia. ‘Golden rules’ akan menjadi dasar arah kepemimpinan bukan ‘self center’. Sang pemimpin tidak memandang perlu apalagi mutlak mengumpulkan kekuasaan apalagi keuangan ditangannya, Karena dengan ‘golden rules’ yang dijadikan arah kebijaksanaannya, ia yakin cukup kuat menjaga kekompakan dan kesatuan seluruh jajarannya. Bahkan ia sama sekali tidak akan melibatkan istri, anak, dan seterusnya untuk urusan kepemimpinannya. Selera pemimpin adalah sama dengan selera masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat akan merasakan kedekatan, kesamaan dengan pemimpinnya. Ia menyatu, berbaur dan dalam pandangan masyarakat, sang pemimpin juga adalah bagian dari mereka.
Sebuah fenomena yang sangat menarik telah terjadi dan dipertontonkan dalam kepemimpinan Jokowi dan pemimpin sebelumnya, yang dengan sangat gamblang menggambarkan detail perilaku dan cara memimpin yang dijelaskan oleh Maslow. Secara pribadi saya memberikan penilaian bahwa setiap zaman memiliki pemimpin dan setiap pemimpin memiliki zamannya sendiri-sendiri. Kepemimpinan yang paling sesuai dengan kondisi zaman milenial, dimana batas antar kelompok masyarakat telah tiada, hubungan antar masyarakat dalam bentuk saling ketergantungan, setiap pribadi memiliki kesempatan dan fasilitas yang hampir sama untuk mengembangkan dirinya. Maka kepemimpinan Jokowi yang berdasarkan pada transendensi diri adalah yang paling sesuai.
Yang menjadi kewajiban kita adalah bagaimana memahami secara teoritis dan praktis pola kepemimpinan transenden ini. Lebih jauh lagi kalau kepemimpinan transenden yang paling cocok dengan zaman milenial ini, bagaimana cara untuk bisa mengkloning Jokowi bahkan menciptakan kepemimpinan disetiap level dari Presiden sampai Ketua RT memiliki kapasitas transenden. Kalau itu bisa kita wujudkan, maka Indonesia Raya adalah sebuah keniscayaan, kita akan melahirkan generasi milenial yang merebut peluang menjadi soko guru perekonomian dunia.
#herukwibawa
#transformasidiri
0 Comments